“Hei Putra, lagi ngapain nih ? Sibuk bener !” sambil menempatkan
diri di bangku warung kantin sekolah.
“Memangnya aku lagi sibuk apa ?” tatapan lembut Putra mengarah lurus
ke arah chafa.
“Sibuk makan !” sambil tertawa lepas.
“Kamu ini. Apanya yang lucu? Mau pesan makan apa?” tanyanya kaku.
“ehm.. sate ular anak konda, ada nggak ?” tak serius.
“Jangan bercanda, Aku pesankan bakso aja ya..” berpaling pergi
meninggalkan chafa untuk memesan makan.
“Ah lama banget !” terheran.
“Sorry fa, sama mbayar semua makan yang di pesen tadi.” Sambil
menyedot es tehnya.
“Berarti pesananku juga dong.” Tampak senang.
Putra tak menjawab tetapi ia menjawab dengan senyumannya yang ramah
dan paling lembut di mata chafa.
“Makannya di cepetin ya, dah mau bel tuh !” Putra mengingatkan.
“kamu bisa pergi ke kelas duluan.”
“Ah, aku nggak tega jika harus ninggalin kamu sendiri disini. Ntar
di culik lagi.” Katanya dengan perhatian.
“Siapa juga yang mau nyulik aku. Kalo cowok cakep gitu, aku mau.”
Sambil sibuk memakan gelindingan bakso tanpa merasa bersalah harus melihat
Putra yang tengah menunggunya.
Setelah selesai, chafa langsung mengambil snack kacang yang biasa di
taruh di meja.
“kamu ini memang temanku yang sangat baik, Maka tak salah jika
Farida suka sama kamu. Kenapa kamu nggak terima saja. Udah kaya, cantik, manis,
wah perfect-lah.” Tak sadar jika Putra telah jauh darinya.
“Aku dah bilang kan ,
kalo aku nggak suka.” Cuek.
“He..he.. sory abis kamu itu aneh. Kenapa kamu nggak suka?” sambil
makan seenaknya sambil berlari menjejeri ruang gerak Putra.
Putra hanya terdiam. Tak tahu apa yang ada dipikirannya saat itu.
“Putra !!!” seru anak cewek tak jauh dari tempat chafa dan Putra
berjalan.
Mereka menoleh. Mencari sumber suara yang memanggil Putra.
“Put, ntar malam ulang tahunku. Kamu datang ya?” Tanya Shinta anak
tetangga sebelah.
Putra hanya berdeham menyanggupi seraya mengambil undangan yang
disodorkan ke arahnya.
“Harap datang, okay?” katanya lagi sambil pamitan pergi.
Putra melangkah melanjutkan perjalanannya ke kelas. Chafa masih
termenung di tempatnya.
“Kok aku nggak diundang sih?” gerutunya dalam hati.
“Hei fa, Ayo !” ajak Putra seraya melambaikan tangan.
“Heh!” Chafa sesaat tersadar.
“Bu Muji dah datang tuh !” sambil menunjuk kelasnya.
Chafa berlari kecil menuju ke kelasnya. Memulai penderitaan baru,
bersama pelajaran Fisika dua jam pelajaran. Lama banget, kalau ditunggu.
●●●●●●
“Hei rik, buku jurnalnya sudah kamu bawa?” Tanya Chafa ke arah Riko.
“Udah, tapi bentar lagi
dibawa Pak Muhdi.”
“ya sudah…”
“Eh, ada kado rupanya. Buat siapa Son?” Chafa menggoda Soni, teman
sebangkunya Riko.
“Bukan. Ini untuk…” Soni tak bisa melanjutkan katanya karena Putra
dating dan menarik tangan Chafa.
“Bentar-bentar!” Chafa merasa tertarik dengan apa yang akan
diucapkan Soni.
“Nggak jadi kok.” Soni mengelak untuk melanjutkan ucapannya tadi.
“Aku pinjam bukumu.” Putra sambil mengembangkan senyum manis
menggoda.
“Ambil aja di tasku. Bangku nomor 3 dari belakang.” Sambil menunjuk
tempat duduknya.
“Hei Chafa, nanti pulang sekolah kita pergi ke rumahnya Farida untuk
nyelesain makalah kita.” Dina tiba-tiba datang.
“Oh ya, tapi ntar aku agak lama karna mau cari buku dulu di perpus.”
Sambil sibuk sendiri mengalihkan pandangan.
“Tapi jangan lama-lama. Ntar aku juga mau beli baju untuk pestanya
Shinta. Kamu ikut?” tanyanya.
“Males ah, mending nonton bola di rumah. Pertandingan nanti malam kan Liverpool lawan MU.”
Katanya antusias.
“Tapi jangan lupa nanti pulang sekolah kerja kelompok!” ingatnya
sebelum pergi.
“Oke deh…” sambil bergegas menuju ke tempat duduknya.
Saat Chafa melewati bangku Farida, seperti biasa ia kembangkan
senyumnya tetapi Farida hanya membalas dengan senyum sinis. Ia terus saja
melangkah menuju bangkunya yang sudah ada penunggunya yaitu Putra.
“Nih bukunya. Thanks ya buat contekkannya.” Kata Putra sambil
menyodorkan buku Kimianya.
Sesekali Chafa mengalihkan pandangan ke semua temannya. Saat itu ia
tertuju ke arah Farida yang tiba-tiba berbalik ke belakang dan melihat Chafa
yang sedang diajak ngobrol oleh Putra.
“Hei fa….” Putra terheran melihat Chafa yang melamun.
“Eh apa. Kamu ngomong apa tadi?” sambil menoleh ke arah Putra.
Dengan senyuman lembut Putra tampakkan ke Chafa. Chafa sangat
merindukan senyuman itu. Ia terlihat seperti sewaktu SMP. Mungkin Chafa
berpikir saat itu Putra berubah menjadi cowok cantik seperti julukan yang
diberikan oleh Putra.
“Lagi gambar apa Put?” Chafa terpancing gambar yang dibuat Putra.
“Bagus kan !”
Pujinya sambil memamerkan gambarnya di hadapan Putra.
“Wah cantik banget ceweknya apalagi cowoknya. Ini aku sama Kyuhyun kan ?” dengan nada
kePD-an.
Chafa merasa diperhatikan oleh Farida. Selama pelajaran Farida selalu
menoleh ke belakang untuk mengamatinya dan Putra. Chafa pun harus siap mental
karena setelah pulang sekolah nanti ia harus pergi kerja kelompok di rumahnya.
“Tuh kan ,
bengong lagi. Mikirin apa sih?” Putra memergoki Chafa yang tengah melamun.
Chafa lama banget tidak menjawab pertanyaan Putra. Ia terlihat
berpikir keras.
●●●●●●
“Chafa, aku pulang dulu ya!” berdiri dan menggendong tas
punggungnya.
“Ya…” sahut Chafa yang tengah membereskan buku-bukunya.
Chafa dengan gontai meninggalkan kelas 2 IPA 2, kelasnya yang
menemaninya hampir setengah tahun. Saat ia memasuki Perputakaan, ia melihat
masih banyak teman-temannya yang sedang berada di sana . Terlihat juga Soni yang berada di dekat
rak buku Sejarah.
“Hei son, Cari buku apa?” Chafa menghampiri.
“Buku Pembangunan Era Orde Lama.” Sahutnya dengan serius.
Chafa hanya mengangguk-anggukkan kepala. Paham.
“Kamu sendiri?” Tanya Soni sambil masih sibuk.
“Buku Kimia.” Jawab Chafa pendek.
“Fa, aku mau ngomong sama kamu.” Kata Cowok yang menyandang predikat
Playboy itu.
“Kamu ngomong aja sekarang.” Chafa sibuk.
“Nih dia. Bukunya sudah ketemu.” Chafa senang.
“Kita bicara di luar yuk!” ajak Soni.
“Oke..”
Soni mengajak Chafa di taman belakang sekolah. Di sana ada bangku panjang, Soni pun
mempersilahkan Chafa untuk duduk.
“Fa, aku mau ngasih kado ini untukmu.” Katanya keki.
“Ha!! Nggak salah. Perasaan aku nggak ultah, hari valentine pun
masih 5 hari lagi. Ada
acara apa kamu ngasih aku kado?” Chafa tak percaya.
“Aku…Aku suka sama kamu, fa.” Kata Soni setengah gugup.
“Ha…?” Chafa membelalak tak percaya.
Hening. Chafa sama sekali tak percaya jika Soni akan mengungkapkan
perasaannya.
“Maaf aku nggak….” Chafa mulai dengan membuka perbincangan.
“Aku tahu kok.” Potong Soni cepat sebelum Chafa menyelesaikan
ucapannya.
Chafa pergi meninggalkan Soni di taman sekolah. Ia segera tancap gas
untuk pergi ke rumahnya Farida. Ia sangat terkejut jika ia akan mendapatkan
hari semacam ini. Ia kehilangan kendali, ia tak sanggup lagi. Jika Dina tahu
kejadian ini, mungkin banyak masalah yang akan menghampirinya. Karena Dina
diputusin Soni tanpa sebab dan sebenarnya Dina masih sayang dengan Soni.
Tiba-tiba motornya berbelok ke jalan Ahmad Dahlan. Jalan menuju ke
rumahnya Farida. Chafa terhenti di depan rumah nomor 16. Rumah seluas istana
dengan pagar besi yang mengelilingi di setiap sudut. Tak lama, seorang satpam mempersilahkan
Chafa untuk masuk setelah sekian lama ia memencet bel.
“Hei fa….” Sambut Dina.
“Sory, kalian nunggu aku lama ya..?” sambil menghampiri temannya.
“Nggak juga. Aku barusan sampai kok.” Dina sambil mempersilahkan
masuk ke dalam.
“Gimana udah semua?” Tanya Chafa basa-basi.
“Udah selesai kok.” Farida dengan suara lembutnya.
Farida memang sangat kalem. Chafa pernah berpikir kalau Farida itu
sama seperti Putra. Serasi banget. Putra dan Farida sama-sama punya senyum
manis menawan. Sama-sama kalem. Karena kekalemannya Farida itu hampir membuat
Chafa tak percaya kalau ia pernah nembak Putra di kelas. Tetapi saat itu, ia
tidak masuk sekolah. Jadi tidak melihat pertunjukkan di kelasnya.
“Kita cepet selesai karena bantuanmu, fa. Makalah yang kamu buat itu
mirip seperti yang diperintahkan. Jadi kita berdua tidak harus capai-capai
ngerjain.” Dina tersenyum puas.
“Ini minumnya. Diminum ya..” Farida mengingatkan.
“Sory, aku buru-buru. Aku sudah ada dengan Ofi, sepupuku mau ke
salon buat ntar malam.” Dina sambil membereskan buku-bukunya ke dalam tas.
“Dah….” Pamitnya.
“Fa, Boleh aku mau ngomong sama kamu?”
“Mau ngomong apa da?” sambil mengunyah biscuit.
“Kamu ini teman akrabnya Putra. Dari cara kalian berteman sepertinya
kalian tidak benar-benar berteman. Mungkin lebih dari sekedar teman.”
“Maksudmu pacar!” Chafa menebak.
Farida hanya mengangguk.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Sergah Chafa tak suka.
“Putra merasa nyaman banget sama kamu.” Tambah Farida.
“Nggak juga. Malah lebih serasi kalau sama kamu.” Chafa kehabisan
kata-kata.
“Aku yakin suatu saat dia akan nyatakan cinta padamu.” Farida
keukeuh.
“Sudah sore. Aku mau mampir ke toko buku dulu.” Chafa pamitan.
“Kamu nanti datang ke pestanya Shinta?” Tanya Farida lagi.
“Sebetulnya da, kunci untuk bisa ngrebut hatinya Putra adalah kamu
coba deketin dan jadikan dia teman kamu. Lama kelamaan dia bisa mengenalmu
lebih dalam. Aku nggak mau ngrusak hari bahagiamu dengan Putra nanti malam. Aku
tidak ikut.” Chafa yakin.
“Terima kasih, fa..” Farida mengembangkan senyum dan mengantar Chafa
sampai gerbang.
“Dah….”
●●●●●●
Putra membelokkan mobilnya di perumahan jalan Mawar. Ia berpikir
Chafa akan menunggunya di perhelatan pesta kebun di rumah Shinta. Ia memarkir
mobil merahnya di depan rumah Shinta dan turun dengan membawa bunga mawar yang
sengaja ia petik di kebun belakang rumahnya.
Saat Putra bergegas untuk masuk ia melihat Soni tampak terburu-buru
tancap gas. Ia tak begitu peduli. Ketika akan menginjakkan kakinya di rumahnya
Shinta, Shinta sudah berdiri menyambut pangerannya.
“Putra, aku sudah nunggu kamu lho…” dengan tak tahu malu menggandeng
lengan Putra.
Putra gerah dan melepasnya dengan kasar. Ia terlihat tak suka
diperlakukan Shinta seperti itu. Putra meninggalkan Shinta yang masih bergaya
dengan gaun belahannya itu. Ia menemui Farida, salah satu teman sekelasnya yang
diundang dalam acara pesta ini. Sebelum Putra bertanya, Dina tiba-tiba datang
dengan wajah cemas.
“Dimana Soni tadi?”
“Aku tadi lihat, dia buru-buru tancap gas.” Putra dengan nada cuek.
“Kira-kira kemana ya..?” Dina masih cemas.
“Chafa tidak datang ya?” Tanya Putra sambil menyelidiki orang-orang
yang datang. Barangkali Chafa datang terlambat.
“Dia kan
memang nggak mau datang.” Dina memberitahu.
“Kenapa?” Tanya Putra lagi.
“Biasalah. Dia kan
lebih suka nonton pertandingan bola daripada ikut acara kaya ginian.” Tambah
Dina.
“Dassarrr.” Putra geram.
“Put, ayo ke taman belakang. Acaranya sudah mau dimulai!” ajak
Farida.
“Kamu duluan aja.” Sambil melepas jasnya dan mengendorkan dasinya
untuk membuka kancing bajunya yang terletak di atas.
Putra tampak sangat lemas mendengar Chafa tidak ikut pestanya
Shinta. Padahal Chafa memintanya untuk datang ke pesta ini. Ia tak habis pikir
kenapa Chafa menyuruhnya datang padahal dirinya tidak mau datang. Sesekali
Putra menghubungi Chafa lewat handphone-nya. Tapi tak diangkat oleh Chafa.
Tiba-tiba Shinta datang dengan membawa kue ultahnya.
“Ini untuk kamu Putra. Orang yang sangat aku cintai.” Kata Shinta
tak tahu malu.
Putra langsung mengambil jasnya dan memakainya sekenanya. Sambil
berlari kecil menuju mobilnya untuk tancap gas. Dandanannya rusak. Ia tak
peduli.
“Hei Putra. Mau kemana?” berusaha mencegah Putra untuk pergi.
Putra tak menghiraukan. Ia kembali ke mobil dan menghidupkan
mesinnya. Ia menyetir dengan kecepatan maksimal. Ia berusaha mencapai rumah
Chafa. Saat Putra mematikan mesin mobilnya, ia melihat ada mobil yang sangat ia
kenal diparkir di depan rumah Chafa. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju
ke pintu rumah dan mulai mengetuknya.
Putra mendengar ada langkah seseorang membukakan pintu. Dengan pandangan
refleks orang yang membukakan pintu tadi menatap Putra dari atas sampai bawah.
“Wah, cakep banget Put. Mau kondangan?” Chafa terkagum-kagum.
“Siapa orang yang ada di dalam rumahmu, fa?” katanya sinis.
“Soni….” Kata Chafa pendek.
“O… Orang itu yang menghipnotis kamu sampai teleponku nggak kamu
angkat.” Terlihat tak suka.
“Terus mau kamu apa?” Chafa terpancing emosi melihat Putra marah
dadakan seperti itu.
Soni pun menghampiri mereka berdua dan menyuruhnya untuk masuk ke
dalam rumah.
“Ayo masuk udara di luar sangat dingin.” Ajak Soni.
“Nggak usah baik.” Putra sinis menatap Soni.
“Hm… kalau begitu, aku pulang dulu fa. Takut ngganggu kamu.” Soni
pamit.
Muka Putra bersinar ketika Soni mengatakan hal itu. Dengan langkah gaya kerennya ia duduk di
bangku teras depan rumah Chafa sambil mengamati anggrek-anggrek koleksinya
Chafa.
“Kamu mau apa disini?” Chafa mengawali pembicaraan.
“Kenapa kamu nggak ngomong dulu ke aku, kalau kamu nggak ikut
pestanya Shinta.” Dengan tampang sok keren.
“Emang penting.” Jawabnya singkat.
“Tadi Soni kesini ngapain?” Tanya Putra penasaran.
“Tadi siang dia…” Chafa tak bisa meneruskan ucapannya.
“Dia?” Putra merasa tertarik dengan perbincangan ini.
“Dia nembak aku. Puas?” Chafa sinis.
Putra kaget. Ia tak tahu apa yang sedang ia rasakan. Cemburu kah?
“Tumben sepi?” Putra mengalihkan topik perbincangan.
“Semuanya lagi pergi ke rumah saudaraku di Jepara.”
“Kapan pulang?”
“Nggak tahu.”
“Sendirian?”
“Nggak.”
Putra yang sejak tadi risih dengan jawaban pendeknya Chafa.
“Ini….” Sambil memberikan bunga mawar yang sejak tadi dibawanya.
“Buat apa?”
“Buang aja kalau mau!” Putra masih dengan tampang marah.
Chafa melakukan apa yang diperintahkan Putra. Sebelum ia membuang
bunga mawar itu, ia menginjaknya terlebih dahulu. Disaksikan oleh Putra yang
berperan sebagai penonton dadakan. Putra tambah hancur. Ucapannya yang tak
sungguh-sungguh itu ditanggapi dengan baik oleh lawan bicaranya.
“Maumu apa?” Putra naik pitam.
“Seharusnya aku tanya sama kamu. Maumu apa?” Chafa balik tanya.
Putra langsung kembali ke mobil. Tak tahu apa yang akan ia lakukan.
Sedang Chafa membanting keras-keras pintu rumahnya. Putra mengambil sesuatu di
bagasi mobilnya dan berjalan menuju ke rumah Chafa. Ia memencet bel berulang
kali.
“Apa lagi?” Tanya Chafa masih dalam keadaan marah.
“Ini….” Sambil menyodorkan paketan bunga anggrek yang masih sepaket
dengan potnya.
“Buat apa?” Chafa penasaran sambil mengernyitkan kening.
“Kamu jadi cewekku.” Katanya to the point.
“Ha….?” Chafa tak percaya. Matanya tak bisa ia kedipkan mendengar
ucapan Putra barusan.
Putra masih menatap Chafa penuh keyakinan. Sedang Chafa tak mengerti
apa yang harus ia lakukan. Sampai ia pun tak bisa menahan gelak tawanya yang
tertahan di tenggorokan.
“Ha..ha…ha…”Chafa tertawa membahana mengisi ruang kosong di setiap
pelosok dunia.
“Nggak salah Put?” Tanya Chafa bingung.
“Nggak ada yang salah.” Jawab Putra mantap.
Chafa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Ia tak tahu apa yang akan
dia perbuat. Sambil menatap lagi bunga anggrek favoritnya ia sesekali melihat
reaksi Putra. Hening untuk beberapa saat.
“Mungkin aku kalah.” Sambil membalikkan badan. Pulang.
“Mungkin juga kamu berprasangka kalau aku nerima Soni, ya?” tebak
Chafa yang langsung membuat Putra menghentikan langkahnya.
Putra menoleh melihat Chafa. Ia masih cekikikan dengan tawanya yang
menurutnya itu lucu.
“Kamu bodoh Put!” kata Chafa seraya menghampiri Putra yang masih
mematung.
Ia mencium pipi Putra. Hampir membuat Putra tersedak.
“Aku memang bodoh. Aku tahu kalau aku suka sama kamu sejak lama. Tapi
aku nggak punya nyali untuk ngungkapin.” Sesalnya.
“Tapi kenapa aku juga bisa suka sama orang yang bodoh, suka marah
dadakan, suka ngebut-ngebutan kaya kamu.” Kata Chafa sambil menyunggingkan
senyum.
“Jadi aku udah ganti status dong.” Putra mendelik malu-malu.
“Nggak kita tetap sahabat.” Chafa mantap sesekali terlihat canggung
menatap ke arah Putra.
Dibantingnya pot bunga pemberian Putra yang membuat Putra lebih
marah lagi. Putra yang menyaksikan itu tak bisa berkutik dengan ekspresinya.
“Heh, Alien! Maumu apa?” Putra kembali naik pitam.
Chafa memeluk Putra erat.
“Aku lebih suka kamu marah terus sama aku. Aku bangga jadi orang
yang kena semprot omelanmu. Aku tetap menganggapmu sebagai teman.” Putra
mengangguk mengerti apa yang sedang Chafa maksud.
“Jadi Alien hidupku. Mau??” Tanya Putra sekali lagi.
“Boleh… Besok kita kencan yuk, Put?” ajak Chafa blak-blakan.
“Tapi kamu jangan nghabisi’in uang sakuku.”
●●●●●●
0 coment:
Posting Komentar